Hukum Ringkas Puasa Ramadhan
Sumber: Majalah AsySyariah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdirrahman al-Bugisi)
Saat Ramadhan tiba, kaum muslimin menyambutnya dengan gembira. Di
antara mereka, ada yang menggelar berbagai acara. Tak jarang,
acara-acara itu justru melanggar syariat. Persiapan paling baik yang
dilakukan saat memasuki Ramadhan adalah mempelajari berbagai hal
berkaitan dengan ibadah di dalamnya. Tentu agar ibadah yang akan
dilakukan bisa lebih bermakna.
Menyambut Ramadhan, banyak acara digelar kaum muslimin. Di antara
acara tersebut ada yang telah menjadi tradisi yang “wajib” dilakukan,
meski syariat tidak pernah memerintahkan untuk membuat berbagai acara
tertentu menyambut datangnya bulan mulia tersebut.
Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari kewajiban puasa yang ditetapkan syariat yang ditujukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah l. Hukum puasa sendiri terbagi menjadi dua, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Adapun puasa wajib terbagi menjadi tiga: puasa Ramadhan, puasa kaffarah (puasa tebusan), dan puasa nadzar.
Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari kewajiban puasa yang ditetapkan syariat yang ditujukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah l. Hukum puasa sendiri terbagi menjadi dua, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Adapun puasa wajib terbagi menjadi tiga: puasa Ramadhan, puasa kaffarah (puasa tebusan), dan puasa nadzar.
Keutamaan Bulan Ramadhan:
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an. Allah l berfirman:
“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (al-Baqarah: 185)
Pada bulan ini, para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka. Rasulullah n bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِّيرَانِ وَصُفِدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Bila datang bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka, dan dibelenggulah para setan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Pada bulan Ramadhan pula terdapat malam Lailatul Qadar. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar.” (al-Qadar: 1—5)
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an. Allah l berfirman:
“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (al-Baqarah: 185)
Pada bulan ini, para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka. Rasulullah n bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِّيرَانِ وَصُفِدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Bila datang bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka, dan dibelenggulah para setan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Pada bulan Ramadhan pula terdapat malam Lailatul Qadar. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar.” (al-Qadar: 1—5)
Penghapus Dosa
Ramadhan adalah bulan untuk menghapus dosa. Hal ini berdasar hadits Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, dari Jum’at (yang satu) menuju Jum’at berikutnya, (dari) Ramadhan hingga Ramadhan (berikutnya) adalah penghapus dosa di antaranya, apabila ditinggalkan dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Ramadhan adalah bulan untuk menghapus dosa. Hal ini berdasar hadits Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, dari Jum’at (yang satu) menuju Jum’at berikutnya, (dari) Ramadhan hingga Ramadhan (berikutnya) adalah penghapus dosa di antaranya, apabila ditinggalkan dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Rukun Berpuasa
a. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq.
Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah n:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin al-Khaththab z)
Juga hadits Hafshah x, bersabda Rasulullah n:
مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barang siapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)
Asy-Syaikh Muqbil t menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (goncang) walaupun sebagian ulama menghasankannya. Namun mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah, dan ‘Aisyah, serta tidak ada yang menyelisihinya dari kalangan para sahabat g.
Persyaratan berniat puasa sebelum fajar dikhususkan pada puasa yang hukumnya wajib, karena Rasulullah n pernah datang kepada ‘Aisyah x pada selain bulan Ramadhan lalu bertanya, “Apakah kalian mempunyai makan siang? Jika tidak maka saya berpuasa.” (HR. Muslim)
Masalah ini dikuatkan pula dengan perbuatan Abu ad-Darda’, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, dan Hudzaifah ibnul Yaman g. Ini adalah pendapat jumhur.
Para ulama juga berpendapat bahwa persyaratan niat tersebut dilakukan pada setiap hari puasa, karena malam Ramadhan memutuskan amalan puasa sehingga untuk mengamalkan kembali membutuhkan niat yang baru. Wallahu a’lam.
Berniat ini boleh dilakukan kapan saja baik di awal malam, pertengahannya, maupun akhir. Ini pula yang dikuatkan oleh jumhur ulama1.
a. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq.
Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah n:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin al-Khaththab z)
Juga hadits Hafshah x, bersabda Rasulullah n:
مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barang siapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)
Asy-Syaikh Muqbil t menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (goncang) walaupun sebagian ulama menghasankannya. Namun mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah, dan ‘Aisyah, serta tidak ada yang menyelisihinya dari kalangan para sahabat g.
Persyaratan berniat puasa sebelum fajar dikhususkan pada puasa yang hukumnya wajib, karena Rasulullah n pernah datang kepada ‘Aisyah x pada selain bulan Ramadhan lalu bertanya, “Apakah kalian mempunyai makan siang? Jika tidak maka saya berpuasa.” (HR. Muslim)
Masalah ini dikuatkan pula dengan perbuatan Abu ad-Darda’, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, dan Hudzaifah ibnul Yaman g. Ini adalah pendapat jumhur.
Para ulama juga berpendapat bahwa persyaratan niat tersebut dilakukan pada setiap hari puasa, karena malam Ramadhan memutuskan amalan puasa sehingga untuk mengamalkan kembali membutuhkan niat yang baru. Wallahu a’lam.
Berniat ini boleh dilakukan kapan saja baik di awal malam, pertengahannya, maupun akhir. Ini pula yang dikuatkan oleh jumhur ulama1.
b. Menahan diri dari setiap perkara yang membatalkan puasa dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Telah diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim rahimahumallah hadits dari ‘Umar bin al-Khaththab z bahwa Rasulullah n bersabda:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Jika muncul malam dari arah sini (timur) dan hilangnya siang dari arah sini (barat) serta matahari telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang berpuasa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Puasa dimulai dengan munculnya fajar. Namun kita harus hati-hati karena terdapat dua jenis fajar: fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai dengan cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini muncul, masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat Subuh karena belum masuk waktu.
Fajar yang kedua adalah fajar shadiq yang ditandai dengan cahaya merah yang menyebar di atas lembah dan bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah. Fajar inilah yang menjadi tanda dimulainya seseorang menahan makan, minum, dan yang semisalnya, serta diperbolehkan shalat Subuh.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas z bahwa Rasulullah n bersabda:
الْفَجْرُ فَجْرَانِ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ الصَّلَاةَ، وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَيُحِلُّ الصَّلَاةَ
“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak dihalalkan shalat (Subuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang diharamkan makan (pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1/304, al-Hakim, 1/304, dan al-Baihaqi, 1/377)
Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf (hanya perkataan Ibnu ‘Abbas z dan bukan sabda Nabi n). Di antara mereka adalah al-Baihaqi, ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu Dawud dalam Marasil-nya (1/123), dan al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh-nya (3/58). Juga diriwayatkan dari Tsauban z dengan sanad yang mursal. Sementara diriwayatkan juga dari hadits Jabir z dengan sanad yang lemah. Wallahu a’lam.
Telah diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim rahimahumallah hadits dari ‘Umar bin al-Khaththab z bahwa Rasulullah n bersabda:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Jika muncul malam dari arah sini (timur) dan hilangnya siang dari arah sini (barat) serta matahari telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang berpuasa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Puasa dimulai dengan munculnya fajar. Namun kita harus hati-hati karena terdapat dua jenis fajar: fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai dengan cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini muncul, masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat Subuh karena belum masuk waktu.
Fajar yang kedua adalah fajar shadiq yang ditandai dengan cahaya merah yang menyebar di atas lembah dan bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah. Fajar inilah yang menjadi tanda dimulainya seseorang menahan makan, minum, dan yang semisalnya, serta diperbolehkan shalat Subuh.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas z bahwa Rasulullah n bersabda:
الْفَجْرُ فَجْرَانِ، فَأَمَّا الْأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ الصَّلَاةَ، وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَيُحِلُّ الصَّلَاةَ
“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak dihalalkan shalat (Subuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang diharamkan makan (pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1/304, al-Hakim, 1/304, dan al-Baihaqi, 1/377)
Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf (hanya perkataan Ibnu ‘Abbas z dan bukan sabda Nabi n). Di antara mereka adalah al-Baihaqi, ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu Dawud dalam Marasil-nya (1/123), dan al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh-nya (3/58). Juga diriwayatkan dari Tsauban z dengan sanad yang mursal. Sementara diriwayatkan juga dari hadits Jabir z dengan sanad yang lemah. Wallahu a’lam.
Siapa yang Diwajibkan Berpuasa?
Orang yang wajib menjalankan puasa Ramadhan memiliki syarat-syarat tertentu. Telah sepakat para ulama bahwa puasa diwajibkan atas seorang muslim yang berakal, baligh, sehat, mukim (bukan musafir), dan bila ia seorang wanita maka harus bersih dari haid dan nifas.
Sementara itu tidak ada kewajiban puasa atas orang kafir, orang gila, anak kecil, orang sakit, musafir, wanita haid dan nifas, orang tua yang lemah, serta wanita hamil dan wanita menyusui.
Bila ada orang kafir yang berpuasa, karena puasa adalah ibadah di dalam Islam maka tidak diterima amalan seseorang kecuali bila dia menjadi seorang muslim. Ini disepakati oleh para ulama.
Adapun orang gila, ia tidak wajib berpuasa karena tidak terkena beban beramal. Hal ini berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib z bahwa Rasulullah n bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيِقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Diangkat pena (tidak dicatat) dari tiga golongan: orang gila sampai dia sadarkan diri, orang yang tidur hingga dia bangun, dan anak kecil hingga dia baligh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)
Meski anak kecil tidak memiliki kewajiban berpuasa sebagaimana dijelaskan hadits di atas, namun sepantasnya bagi orang tua atau wali yang mengasuh anak tersebut agar menganjurkan dia berpuasa, supaya terbiasa sejak kecil sesuai kesanggupannya.
Sebuah hadits diriwayatkan ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz x:
“Utusan Rasulullah n mengumumkan di pagi hari ‘Asyura agar siapa di antara kalian yang berpuasa, hendaklah dia menyempurnakannya dan siapa yang telah makan maka jangan lagi dia makan pada sisa harinya. Dan kami berpuasa setelah itu dan kami mempuasakan anak-anak kecil kami. Dan kami ke masjid lalu kami buatkan mereka mainan dari wol. Maka jika salah seorang mereka menangis karena (ingin) makan, kami pun memberikan (mainan tersebut) kepada mereka hingga mendekati buka puasa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sementara itu, bagi orang-orang lanjut usia yang sudah lemah (jompo), orang sakit yang tidak diharapkan sembuh, dan orang yang memiliki pekerjaan berat yang menyebabkan tidak mampu berpuasa serta tidak mendapatkan cara lain untuk memperoleh rezeki kecuali pekerjaan yang dia lakukan tersebut, mereka diberi keringanan untuk tidak berpuasa, namun wajib membayar fidyah yaitu memberi makan setiap hari satu orang miskin.
Ibnu Abbas c berkata, “Diberikan keringanan bagi orang yang sudah tua untuk tidak berpuasa dan memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan tidak ada qadha atasnya.” (Riwayat ad-Daruquthni dan al-Hakim, disahihkan oleh keduanya)
Anas bin Malik z tatkala sudah tidak sanggup berpuasa maka beliau memanggil 30 orang miskin lalu (memberikan kepada mereka makan) sampai mereka kenyang. (Riwayat ad-Daruquthni 2/207 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 7/204, dengan sanad yang sahih. Lihat Shifat Shaum an-Nabi, hlm. 60)
Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib atas mereka menggantinya di hari yang lain adalah musafir dan orang sakit yang masih diharap kesembuhannya yang apabila dia berpuasa menyebabkan kekhawatiran sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya.
Allah l berfirman:
“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.” (al-Baqarah: 184)
Demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan janin atau anaknya bila dia berpuasa, wajib baginya mengqadha puasanya dan bukan membayar fidyah, menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat para ulama.
Hal ini berdasar hadits Anas bin Malik al-Ka’bi z, bersabda Rasulullah n:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّومَ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagi orang musafir dan (demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.” (HR. an-Nasa’i, 4/180—181, Ibnu Khuzaimah, 3/268, al-Baihaqi, 3/154, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t)
Yang tidak wajib berpuasa namun wajib mengqadha (menggantinya) di hari lain adalah wanita haid dan nifas.
Telah terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanya untuk berbuka dan diharamkan berpuasa. Jika mereka berpuasa berarti dia telah melakukan amalan yang batil dan wajib mengqadha. Di antara dalil atas hal ini adalah hadits Aisyah x:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Adalah kami mengalami haid lalu kami pun diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam.
Orang yang wajib menjalankan puasa Ramadhan memiliki syarat-syarat tertentu. Telah sepakat para ulama bahwa puasa diwajibkan atas seorang muslim yang berakal, baligh, sehat, mukim (bukan musafir), dan bila ia seorang wanita maka harus bersih dari haid dan nifas.
Sementara itu tidak ada kewajiban puasa atas orang kafir, orang gila, anak kecil, orang sakit, musafir, wanita haid dan nifas, orang tua yang lemah, serta wanita hamil dan wanita menyusui.
Bila ada orang kafir yang berpuasa, karena puasa adalah ibadah di dalam Islam maka tidak diterima amalan seseorang kecuali bila dia menjadi seorang muslim. Ini disepakati oleh para ulama.
Adapun orang gila, ia tidak wajib berpuasa karena tidak terkena beban beramal. Hal ini berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib z bahwa Rasulullah n bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيِقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
“Diangkat pena (tidak dicatat) dari tiga golongan: orang gila sampai dia sadarkan diri, orang yang tidur hingga dia bangun, dan anak kecil hingga dia baligh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)
Meski anak kecil tidak memiliki kewajiban berpuasa sebagaimana dijelaskan hadits di atas, namun sepantasnya bagi orang tua atau wali yang mengasuh anak tersebut agar menganjurkan dia berpuasa, supaya terbiasa sejak kecil sesuai kesanggupannya.
Sebuah hadits diriwayatkan ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz x:
“Utusan Rasulullah n mengumumkan di pagi hari ‘Asyura agar siapa di antara kalian yang berpuasa, hendaklah dia menyempurnakannya dan siapa yang telah makan maka jangan lagi dia makan pada sisa harinya. Dan kami berpuasa setelah itu dan kami mempuasakan anak-anak kecil kami. Dan kami ke masjid lalu kami buatkan mereka mainan dari wol. Maka jika salah seorang mereka menangis karena (ingin) makan, kami pun memberikan (mainan tersebut) kepada mereka hingga mendekati buka puasa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sementara itu, bagi orang-orang lanjut usia yang sudah lemah (jompo), orang sakit yang tidak diharapkan sembuh, dan orang yang memiliki pekerjaan berat yang menyebabkan tidak mampu berpuasa serta tidak mendapatkan cara lain untuk memperoleh rezeki kecuali pekerjaan yang dia lakukan tersebut, mereka diberi keringanan untuk tidak berpuasa, namun wajib membayar fidyah yaitu memberi makan setiap hari satu orang miskin.
Ibnu Abbas c berkata, “Diberikan keringanan bagi orang yang sudah tua untuk tidak berpuasa dan memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan tidak ada qadha atasnya.” (Riwayat ad-Daruquthni dan al-Hakim, disahihkan oleh keduanya)
Anas bin Malik z tatkala sudah tidak sanggup berpuasa maka beliau memanggil 30 orang miskin lalu (memberikan kepada mereka makan) sampai mereka kenyang. (Riwayat ad-Daruquthni 2/207 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 7/204, dengan sanad yang sahih. Lihat Shifat Shaum an-Nabi, hlm. 60)
Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib atas mereka menggantinya di hari yang lain adalah musafir dan orang sakit yang masih diharap kesembuhannya yang apabila dia berpuasa menyebabkan kekhawatiran sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya.
Allah l berfirman:
“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.” (al-Baqarah: 184)
Demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan janin atau anaknya bila dia berpuasa, wajib baginya mengqadha puasanya dan bukan membayar fidyah, menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat para ulama.
Hal ini berdasar hadits Anas bin Malik al-Ka’bi z, bersabda Rasulullah n:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّومَ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagi orang musafir dan (demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.” (HR. an-Nasa’i, 4/180—181, Ibnu Khuzaimah, 3/268, al-Baihaqi, 3/154, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t)
Yang tidak wajib berpuasa namun wajib mengqadha (menggantinya) di hari lain adalah wanita haid dan nifas.
Telah terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanya untuk berbuka dan diharamkan berpuasa. Jika mereka berpuasa berarti dia telah melakukan amalan yang batil dan wajib mengqadha. Di antara dalil atas hal ini adalah hadits Aisyah x:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Adalah kami mengalami haid lalu kami pun diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar